INSPIRASIKU
Saturday, October 26, 2013
Sejarah Nuzulul Qur’an
silahkan dwonload disini
Sunday, April 21, 2013
Perkembangan kognitif anak
Teori Stadium Piaget
Walaupun sebagian besar orang tua
mempengaruhi perubahan intelektual yang menyertai pertumbuhan fisik anak,
mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menjelaskan sifat perubahan tersebut.
Cara ahli psikologi konteporer menjelaskan perubahan tersebut banyak oleh ahli
psikologi swiss Jean Piaget (1896-1980), yang dikenal sebagai salah seorang
pemikir yang paling berpengaruh dalam abad ini.
Piaget memandang anak sebagai partisipan aktif didalam proses perkembangan ketimbang sebagai resipien aktif perkembangan biologis atau stimuli eksternal. Jelasnya Piaget yakin bahwa anak harus dipandang seperti ilmuwan yang sedang mencari jawaban yang melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi.
Hasil dari eksperimen miniatur itu menyebabkan anak menyusun “teori”-piaget menyebutkan schemata (atau tunggal, skema)- tentang bagaimana dunia fisik dan social beroperasi. Piaget juga berbeda dari ahli psikologi lain pada awal abad ini dalam metodologi eksperimentalnya. Ia mulai mengobservasi ketiga anak kandungnya sendiri pada saat mereka bermain, sambil seringkali mengajukan pertanyaan kepada mereka masalah ilmu pengetahuan dan moral sederhana dan meminta mereka untuk menjelaskan bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu.
Berdasarkan observasinya, Piaget menjadi yakin bahwa kemampuan bernalar atau berpikir anak berkembang melalui sejumlah stadium yang berbeda secara kualitatif bersamaan dengan kematangan mereka. Ia membagi perkembangan kognitif menjadi stadium utama dan sejumlah sub stadium didalam masing-masingnya.
Stadium Sensorimotorik
Dengan memperhatikan saling keterkaitan antara aktivitas motorik dan persepsi pada bayi, Piaget menamakan 2 tahun pertama kehidupan sebagai stadium sensorikmotorik. Bayi sibuk menemukan hubungan antara tindakan mereka dan konsekuensi dari tindakan itu. Misalnya, apa yang terjadi jika mereka mendorong makanan keluar dari meja.
Melalui eksperimen yang tak terhitung banyaknya, bayi mulai membentuk konsep diri mereka sebagai terpisah dari dunia luar. Penemuan penting selama stadium ini adalah konsep permanensi objek (kepermanenan objek), suatu kesadaran bahwa objek terus ada walaupun tidak tertangkap oleh indera. Jika sebuah kain diletakkan diatas mainan yang akan diraih oleh bayi berusia 8 bulan, maka bayi itu akan segera berhenti untuk mencari mainan tersebut dan kehilangan minat. Tetapi bayi tersebut tampaknya tidak terkejut atua tidak sedikitpun merasa kehilangan benda atau mainan yang telah disembunyikan.
Sebaliknya, seorang bayi berusia 10 bulan jika mengalami peristiwa tersebut maka akan muncul perilaku yang berbeda yaitu bayi tersebut akn secara aktif mencari mainan yang telah ditutupi dengan kain. Karena pada usia tersebut bayi sudah mulai menyadari adanya suatu objek walauoun sudah tidak tertangkap oleh indera. Ini menyatakan bahwa bayi memiliki representasi mental tentang benda yang hilang atau disembunyikan. Namun demikian, pada usia ini pun pencarian yang dilakuka oleh bayi masih terbatas. Karena jika pada saat melakukan pencarian itu bayi dapat menemukan mainan tersebut pada suatu tempat maka ketika bayi mengalami peristiwa yang sama maka bayi akan mencari benda tersebut pada tempat yang sama, dimana benda itu ditemukan pada saat peristiwa yang pertama terjadi, walaupun mainan tersebut di sembunyikan pada tempat lain. Bayi akan mengulangi tindakan yang memunculkan benda ditempat awal daripada harus mencarinya ditempat yang baru.
Stadium Praoperasional
Pada sekitar usia 1 setengah sampai 2 tahun, anak mulai menggunakan bahasa. Kata sebagai symbol, dapat mewakili benda atau kelompok benda, dan satu benda dapat menjadi symbol benda lain. Misalnya jika tongakat dalam permainan seorang anak berusia 3 tahun mungkin dapat dianggapnya sebagai kuda, sehingga mereka dapat menungganginya dan memperlakukannya seolah-olah mereka sedang menunggangi kuda sungguhan sambil berlari-lari atau sebuah balok mereka jadikan sebagai mobl-mobilan.
Walaupun akan usia 3 sampai 4 tahun dapat berpikir dalam pengertian simbolik, kata-kata dan bayangannya masih belum terorganisasi secara logis. Piaget menyebut stadium perkembangan kognitif antara usia 2 sampai 7 tahun sebagai praoperasional, karena anak masih belum memahami aturan atau operasi tertentu. Sebagai contohnya, jika air dituang dari gelas yang tinggi dan sempit ke gelas yang pendek dan lebar, orang dewasa tahu bahwa air tidak berkurang karena mereka dapat membalikkan ransformasi di pemikiran mereka. Mereka dapat membayangkan menuangkan air kembali dari gelas pendek ke gelas tinggi. Sebagai akibatnya, anak pada tahpan ini masih belum mendapatkan konsevasi.
Piaget yakin bahwa cirri utama stadium praoperasional adalah bahwa anak tidak mampu memusatkan perhatian pada lebih dari satu aspek situasi pada suatu waktu. Demikian pula piaget yakin bahwa pemikiran operasional didominasi oleh kesan visual.
Pertimbangan Moral
Perkembangan kognitif tidak hanya mempengaruhi anak tentang dunia fisik, tetapi dunia social pula. Karena pemahaman peraturan moral dan social adalah penting dalam semua masyarakat, Piaget tertarik kepada bagaimana anak memahami peratura tersebut. Ia skeptif bahwa orang tua adalah kuat dalam perkembangan pemahaman tersebut seperti yang dinyatakan oleh teori saat itu. Namun ia menduga bahwa pemahaman anak tentang peraturan moral dan social harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif secara keseluruhan. Piaget mendasari teori awal di bidang ini pada observasi yang dilakukannya terhadap dua anak yang sedang bermain kelereng. Ia bertanya kepada anak-anak terasebut tentang asal mula, makna, dan kepentingan peraturan permainan yang mereka ikuti. Dari jawaban mereka, ia merumuskan empat stadium perkembangan anak untuk memahami aturan. Dua stadium pertama masuk kedalam periode operasional .
Stadiun pertama timbul pada awal periode operasional saat anak mulai terlibat dalam permainan simbolik. Anak pada stadium ini akan berperan serta dalam sejenis “permainan parallel”, bermain dengan anak lain menggunakan mainan yang sama tetapi tidak dalam cara yang terorganisasi secara social. Setiap anak cenderung mengikuti peraturan idiosinkrtatik, menurut kinginan pribadinya sendiri.
Stadium kedua menempatkan suatu akhir mendadak pada pandangan peraturan yang mudah berubah itu. Dimulai pada sekitar usia lima tahun, anak mengembangkan suatu perasaan kewjiban untuk mengikuti suatu peraturan, memperlakukan peraturan sebagai perintah moral absolute yang dikeluarkan oleh seorang tokoh yang berkuasa kemugkinan oleh orang tua atau Tuhan.
Dari penelitian ini dan penelitian lainnya, Piaget sampai pada kesimpulan bahwa anak pada stadium ini anak memiliki realisme moral, suatu konfusi (kebingungan) antara hokum moral dan fisik. Peraturan moral merupak aspek yang telah ditentukan dan permanen dari dunia-sama seperti hukum gravitasi. Anak pada stadium ini seringkali mengekspresikan pandangan bahwa hukuman akan terjadi-Tuhan akan menghukum mereka atau mereka akan tertabrak mobil. Anak praoperasional tidak membedakan antara kebohongan yang disengaja dengan oprtunistik dan pembesar-besaran atau kesalahan pernyataan yang tidak berbahaya.
Piaget memandang anak sebagai partisipan aktif didalam proses perkembangan ketimbang sebagai resipien aktif perkembangan biologis atau stimuli eksternal. Jelasnya Piaget yakin bahwa anak harus dipandang seperti ilmuwan yang sedang mencari jawaban yang melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi.
Hasil dari eksperimen miniatur itu menyebabkan anak menyusun “teori”-piaget menyebutkan schemata (atau tunggal, skema)- tentang bagaimana dunia fisik dan social beroperasi. Piaget juga berbeda dari ahli psikologi lain pada awal abad ini dalam metodologi eksperimentalnya. Ia mulai mengobservasi ketiga anak kandungnya sendiri pada saat mereka bermain, sambil seringkali mengajukan pertanyaan kepada mereka masalah ilmu pengetahuan dan moral sederhana dan meminta mereka untuk menjelaskan bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu.
Berdasarkan observasinya, Piaget menjadi yakin bahwa kemampuan bernalar atau berpikir anak berkembang melalui sejumlah stadium yang berbeda secara kualitatif bersamaan dengan kematangan mereka. Ia membagi perkembangan kognitif menjadi stadium utama dan sejumlah sub stadium didalam masing-masingnya.
Stadium Sensorimotorik
Dengan memperhatikan saling keterkaitan antara aktivitas motorik dan persepsi pada bayi, Piaget menamakan 2 tahun pertama kehidupan sebagai stadium sensorikmotorik. Bayi sibuk menemukan hubungan antara tindakan mereka dan konsekuensi dari tindakan itu. Misalnya, apa yang terjadi jika mereka mendorong makanan keluar dari meja.
Melalui eksperimen yang tak terhitung banyaknya, bayi mulai membentuk konsep diri mereka sebagai terpisah dari dunia luar. Penemuan penting selama stadium ini adalah konsep permanensi objek (kepermanenan objek), suatu kesadaran bahwa objek terus ada walaupun tidak tertangkap oleh indera. Jika sebuah kain diletakkan diatas mainan yang akan diraih oleh bayi berusia 8 bulan, maka bayi itu akan segera berhenti untuk mencari mainan tersebut dan kehilangan minat. Tetapi bayi tersebut tampaknya tidak terkejut atua tidak sedikitpun merasa kehilangan benda atau mainan yang telah disembunyikan.
Sebaliknya, seorang bayi berusia 10 bulan jika mengalami peristiwa tersebut maka akan muncul perilaku yang berbeda yaitu bayi tersebut akn secara aktif mencari mainan yang telah ditutupi dengan kain. Karena pada usia tersebut bayi sudah mulai menyadari adanya suatu objek walauoun sudah tidak tertangkap oleh indera. Ini menyatakan bahwa bayi memiliki representasi mental tentang benda yang hilang atau disembunyikan. Namun demikian, pada usia ini pun pencarian yang dilakuka oleh bayi masih terbatas. Karena jika pada saat melakukan pencarian itu bayi dapat menemukan mainan tersebut pada suatu tempat maka ketika bayi mengalami peristiwa yang sama maka bayi akan mencari benda tersebut pada tempat yang sama, dimana benda itu ditemukan pada saat peristiwa yang pertama terjadi, walaupun mainan tersebut di sembunyikan pada tempat lain. Bayi akan mengulangi tindakan yang memunculkan benda ditempat awal daripada harus mencarinya ditempat yang baru.
Stadium Praoperasional
Pada sekitar usia 1 setengah sampai 2 tahun, anak mulai menggunakan bahasa. Kata sebagai symbol, dapat mewakili benda atau kelompok benda, dan satu benda dapat menjadi symbol benda lain. Misalnya jika tongakat dalam permainan seorang anak berusia 3 tahun mungkin dapat dianggapnya sebagai kuda, sehingga mereka dapat menungganginya dan memperlakukannya seolah-olah mereka sedang menunggangi kuda sungguhan sambil berlari-lari atau sebuah balok mereka jadikan sebagai mobl-mobilan.
Walaupun akan usia 3 sampai 4 tahun dapat berpikir dalam pengertian simbolik, kata-kata dan bayangannya masih belum terorganisasi secara logis. Piaget menyebut stadium perkembangan kognitif antara usia 2 sampai 7 tahun sebagai praoperasional, karena anak masih belum memahami aturan atau operasi tertentu. Sebagai contohnya, jika air dituang dari gelas yang tinggi dan sempit ke gelas yang pendek dan lebar, orang dewasa tahu bahwa air tidak berkurang karena mereka dapat membalikkan ransformasi di pemikiran mereka. Mereka dapat membayangkan menuangkan air kembali dari gelas pendek ke gelas tinggi. Sebagai akibatnya, anak pada tahpan ini masih belum mendapatkan konsevasi.
Piaget yakin bahwa cirri utama stadium praoperasional adalah bahwa anak tidak mampu memusatkan perhatian pada lebih dari satu aspek situasi pada suatu waktu. Demikian pula piaget yakin bahwa pemikiran operasional didominasi oleh kesan visual.
Pertimbangan Moral
Perkembangan kognitif tidak hanya mempengaruhi anak tentang dunia fisik, tetapi dunia social pula. Karena pemahaman peraturan moral dan social adalah penting dalam semua masyarakat, Piaget tertarik kepada bagaimana anak memahami peratura tersebut. Ia skeptif bahwa orang tua adalah kuat dalam perkembangan pemahaman tersebut seperti yang dinyatakan oleh teori saat itu. Namun ia menduga bahwa pemahaman anak tentang peraturan moral dan social harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif secara keseluruhan. Piaget mendasari teori awal di bidang ini pada observasi yang dilakukannya terhadap dua anak yang sedang bermain kelereng. Ia bertanya kepada anak-anak terasebut tentang asal mula, makna, dan kepentingan peraturan permainan yang mereka ikuti. Dari jawaban mereka, ia merumuskan empat stadium perkembangan anak untuk memahami aturan. Dua stadium pertama masuk kedalam periode operasional .
Stadiun pertama timbul pada awal periode operasional saat anak mulai terlibat dalam permainan simbolik. Anak pada stadium ini akan berperan serta dalam sejenis “permainan parallel”, bermain dengan anak lain menggunakan mainan yang sama tetapi tidak dalam cara yang terorganisasi secara social. Setiap anak cenderung mengikuti peraturan idiosinkrtatik, menurut kinginan pribadinya sendiri.
Stadium kedua menempatkan suatu akhir mendadak pada pandangan peraturan yang mudah berubah itu. Dimulai pada sekitar usia lima tahun, anak mengembangkan suatu perasaan kewjiban untuk mengikuti suatu peraturan, memperlakukan peraturan sebagai perintah moral absolute yang dikeluarkan oleh seorang tokoh yang berkuasa kemugkinan oleh orang tua atau Tuhan.
Dari penelitian ini dan penelitian lainnya, Piaget sampai pada kesimpulan bahwa anak pada stadium ini anak memiliki realisme moral, suatu konfusi (kebingungan) antara hokum moral dan fisik. Peraturan moral merupak aspek yang telah ditentukan dan permanen dari dunia-sama seperti hukum gravitasi. Anak pada stadium ini seringkali mengekspresikan pandangan bahwa hukuman akan terjadi-Tuhan akan menghukum mereka atau mereka akan tertabrak mobil. Anak praoperasional tidak membedakan antara kebohongan yang disengaja dengan oprtunistik dan pembesar-besaran atau kesalahan pernyataan yang tidak berbahaya.
Stadium Operasional
Antara usia 7 dan 12 tahun, anak menguasai berbagai konsep konservasi dan mulai melakukan manipulasi dan lain lagi. Merekan dapat menyusun benda-benda berdasarka dimensi, seperti tinggi atau berat. Mereka juga dapat melakukan representasi mental sejumlah tindakan. Anak lima tahun dapat menemukan jalan menuju rumah temannya tetapi tidak dapat menceritakan kepada anda bagaimana cara sampai kerumah kawannya itu atau tidak dapat menelusuri jalan dengan pensil dan kertas, Mereka dapat menemukan jalan karena mereka tahu harus belok ditempat tertentu, tetapi mereka tidak memiliki gambaran keseluruhan tentang rute jalannya. Piaget menyebut periode ini stadium operasional konkret.
Pada sekitar 11 dan 12 tahun, anak sampai pada model pemikiran dewasa, menjadi mampu memberikan penalaran dalam pengertian yang benar-benar simbolik. Piaget menyebut stadium ini sebagai stadium operasional formal. Awal stadium formal juga timbul bersamaan dengan stadium keempat dan terakhir pada pemahaman anak tentang peraturan moral. Anak kecil menunjukkan minatnya dalam membuat peraturan bahkan untuk menghadapi situasi yang belum pernah mereka jumpai. Stadium ini ditandai oleh model ideologis penalaran moral, yang menjawab masalah social yang lebih luas ketimbang hanya situasi personal dan interpersonal.
Antara usia 7 dan 12 tahun, anak menguasai berbagai konsep konservasi dan mulai melakukan manipulasi dan lain lagi. Merekan dapat menyusun benda-benda berdasarka dimensi, seperti tinggi atau berat. Mereka juga dapat melakukan representasi mental sejumlah tindakan. Anak lima tahun dapat menemukan jalan menuju rumah temannya tetapi tidak dapat menceritakan kepada anda bagaimana cara sampai kerumah kawannya itu atau tidak dapat menelusuri jalan dengan pensil dan kertas, Mereka dapat menemukan jalan karena mereka tahu harus belok ditempat tertentu, tetapi mereka tidak memiliki gambaran keseluruhan tentang rute jalannya. Piaget menyebut periode ini stadium operasional konkret.
Pada sekitar 11 dan 12 tahun, anak sampai pada model pemikiran dewasa, menjadi mampu memberikan penalaran dalam pengertian yang benar-benar simbolik. Piaget menyebut stadium ini sebagai stadium operasional formal. Awal stadium formal juga timbul bersamaan dengan stadium keempat dan terakhir pada pemahaman anak tentang peraturan moral. Anak kecil menunjukkan minatnya dalam membuat peraturan bahkan untuk menghadapi situasi yang belum pernah mereka jumpai. Stadium ini ditandai oleh model ideologis penalaran moral, yang menjawab masalah social yang lebih luas ketimbang hanya situasi personal dan interpersonal.
Wednesday, April 10, 2013
KONSEP DAN PENGERTIAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peran aktif dalam menciptakan
generasi yang mampu berinteraksi sosial dengan baik, sebaliknya sosiologi
memberikan informasi ke dalam dunia pendidikan tentang nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat. Pendidikan Agama Islam mengenalkan kepada peserta didik tentang
nilai-nilai yang terdapat dalam Agama Islam agar kelak ilmu yang dimiliki dan
kemudian diamalkan sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran keagamaan meskipun
tidak secara mayoritasmasyarakat Indonesia adalah islam akan terapi sebuah
nilai.
Pendidikan bisa dianggap berhasil ketika
peserta didik mempunyai kemampuan dan potensi untuk dimanfaatkan oleh dirinya,
masyarakat, agama, bangsa, dan negara. Di sinilah letak hubungan fungsionalitas
dan korelasi antar pendidikan islam dengan sosiologi, karena sosiologi membahas
tentang interaksi sosial di masyarakat. Keberhasilan dalam pendidikan agama
Islam tidak hanya bisa ditentukan dengan struktur nilai yang disimbolkan dengan
angaka, melainkan lebih ditentukan oleh kehidupan interaksi social
sehari-hari yang terjadi di sekolah, baik antar masyarakat, sekolah maupun
antara sekolah dengan masyarakat sekitar dengan nilai-nilai keislaman.
Oleh karena itu sosiologi mempunyai kontribusi penting
bagi pendidikan Agama Islam dalam kaitannya dengan penerapan agama dalam
kehidupan bermasyarakat. Sesungguhnya studi sosiologi sangat penting untuk
kita sebagai makhluk sosial. Diri kita sendirilah yang menjadi objek kajian
sosiologi karena kita selalu berinteraksi dengan orang lain. Kita juga sebagai
manusia yang berbudaya yang memiliki norma, nilai dan tradisi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Sosiologi Pendidikan
Sesuai
dengan berkembangnya peradaban manusia, maka berbagai ilmu pengetahuan yang
tergabung dalam filsafat kemudian memisahkan diri dan memihak pada urusannya
sendiri. Tepatnya pada abad ke-19, sosiologi muncul sebagai sosokilmu
pengetahuan yang berusaha berdiri sendiri dengankajian tentang kehidupan
manusia dalam masyarakat, di samping muncul pula psikologi yang mempelajari manusia
sebagai individu yang berhubungan dengan prilaku dan sifat-sifat manusia.[1]
Sosiologi
sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat dalam proses
pertumbuhannya dapat dibedakan dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan lain seperti Ilmu
Eknomi, Sejarah, Hukum, Antropologi Ilmu Kejiwaan dan lain sebagainya; akan
tetapi secara kenyataan dalam praktek kehidupan masyarakat dari kesemua
ilmu-ilmu kemasyarakatan (sosial) tidak mungkin dipisahkan.[2]
Manusia
dengan segala tingkah lakunya di dalam menghadapi lingkungan sekitarnya
menimbulkan usaha-usaha untuk mengetahui dam akhirnya memanipulasikan
lingkungan skitar manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, tingkah laku
manusia dalam memanipulasikan tanah dengan berbagai ramuan dapat membuat batu
merah, dan batu merah biji logam besi bisa dibuat beraneka raga, alat-alat
perlengkapan, dari mekanik burung terbang dapat dibuat pesawat jet supersonic,
dari mekanik ikan dapat dibangun kapal selam, dan sebaliknya. Dari sini
kelihatanlah bahwa manusia ingin tahu kepada lingkungan sekitarnya, ingin
menguasainya dan akhirnya ingin mempergunakannya. Kegiatan manusia di dalam
mengetahui, menguasai dan memakai alam sekitarnya telah menimbulkanberbagai
cabang ilmu ilmu pengetahuan teknik yang sampai dewasa ini meningkat pada
teknologi nuclear serta mendarat di bulan, dan malah berkembang terus.[3]
Di
dalam kegiatan manusia sebagai makhluk sosial menimbulkan berbagai ilmu
pengetahuan sendiri. Termasuk di sini kita ialah kegiatan manusia untuk
mendidik generasi-generasi mudanya, ialah dengan memberikan, menundakan
mewariskan kebudayaannya kepada anak cucunya. Nah, di dalam karya mendidik
inilah manusia berusaha untuk mengetahui bagaimanakah proses pendidikan itu
dilihat dari segi sosialnya, ditinjau dari konstelansi sosial, di mana terjalin
karya mendidik itu. Maka di sini timbulah suatu cabang ilmu pengetahuan ialah
sosiologi pendidikan. Atau kalu dengan istilah yang lebih pendek dapatlah
dipergunakan Sosio-Paedagogika.[4]
B. Pengertian
Sosiologi Pendidikan
Kata
sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata yaitu sosiologi dan pendidikan,
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk
perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya dijelaskan bahwa struktur sosial adalah
keseluruhan jalinan antara unsure-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah
sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial
serta lapisan-lapisan sosial. Sedangkan proses sosial adalah adalah pengaruh timbale
balik antara pelbagai segi kehidupan bersama.[5]
Beberapa
pendapat para ahli yang telah mencoba member pengertian sosiologi sebagai
berikut:
1. Roucek and warren, mengemukakan
bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok.[6]
2. Y.B.A.F. mayor Polak mengatakan
bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan, yakni antar hubungan di antara manusia dengan manusia, manusia
dengan kelompok, kelompok dengan kelompok baik formil maupun materil, baik
statis maupun dinamis.[7]
3. Hasan Shadily menyebutkan bahwa
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan
menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan itu.[8]
4. David B. brinkerhoft dan Lynn K.
white
Berpendapat bahwa sosiologi adalah
studi sitematik tentang interaksi sosial manusia.[9]
Pengertian
pendidikan, secara sederhana dapat merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.[10]
Pengertian
sosiologi pendidikan menurut beberapa para ahli menyatakan sebagai berikut:
1. Charles A. ellwood, menyatakan
bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari/menuju
untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah
antara proses pendidikan dan proses sosial.[11]
2. Drs. H. Abu Ahmadi, menyatakan
bahwa sosiologi pendidikan adalah suatu cabang ilmu pengetahuan (dari ilmu jiwa
pendidikan) yang membahas proses interaksi sosial anak-anak muali dari
keluarga, masa sekolah, sampai dewasa serta dengan kondisi-kondisi sosio
kulturil yang terdapat da dalam masyarakat dan di dalamnya.[12]
Dengan
demikian pemakalah dapat mendefinisikan bahwa pengertian sosiologi pendidikan
adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara masyarakat, yang didalamnya
terjadi interaksi sosial, dengan pendidikan sehingga lingkungan itu
sendiri dapat mempengaruhi adanya
pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
C. Tujuan
Sosiologi Pendidikan
Perlu
kiranya dirumuskan secara konkret apakah kiranya yang menjadi tujuan daripada
sosiologi pendidikan di Indonesia yang sudah jadi barang tentu diselaraskan
dengan tujan pembangunan Indonesia moderent. Adapun tujuan dari pada sosiologi
pendidikan di Indonesia ialah:
1. Berusaha memahami peranan
sosiologi dari pada kegiatan sekolah terhadap masyarakat, terutama apabila
sekolah ditinjau dari segi kegiatan intelektual. Dus dengan begitu sekolah
harus bisa menjadi suri tauladan di dalam masyarakat sekitarnya dan lebih luas
lagi, atau dengan singkat mengadakan sosialisasi intelektual untuk memajukan
kehidupan di dalam masyarakat.
2. Untuk memahami seberapa jauhkah
guru dapat membina kegiatan sosial anak didiknya untuk mengembangkan
kepribadian anak.
3. Untuk mengetahui pembinaan
ideology pancasila dan kebudayaan nasional Indonesia di lingkungan pendidikan
dan pengajaran.
4. Untuk mengadakan integrasi
kurikulum pendidikan dengan masyarakat sekitarnya agar supaya pendidikan
mempunyai kegunaan praktis did al masyarakat, dan Negara seluruhnya.
5. Untuk menyelidiki faktor-faktor
kekuatan masyarakat, yang bisa menstimulir pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian anak.
6. Member sumbangan yang positif
terhadap perkembangan ilmu pendidikan.
Member pegangan terhadap penggunaan
prinsip-prinsip sosiologi untuk mengadakan sosiologi sikap dan kepribadian anak
didik.[13]
[1]
Abdulsyani, Sosiologi Sistematika, Teori, dan, Terapan, Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2002, h. 1
[2]
Abdulsyani, Sosiologi Sistematika, Teori, dan, Terapan, h. 1
[3]
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004, h. 4
[4]
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, h. 5
[5]
Abdulsyani, Sosiologi Sistematika, Teori, dan, Terapan, h. 6
[6]
Abdulsyani, Sosiologi Sistematika, Teori, dan, Terapan, h. 5
[7]
Abdulsyani, Sosiologi Sistematika, Teori, dan, Terapan, h. 6
[8]
Abdulsyani, Sosiologi Sistematika, Teori, dan, Terapan, h. 6-7
[9] Damsar,
Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana Putra Utama, 2011, h. 2
[10]
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana Putra Utama, 2011, h.
8
[11]
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, h. 7
[12]
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, h. 9
[13]
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, h. 10-11
Subscribe to:
Posts (Atom)